Setiap tahun, gema takbir menggetarkan langit dan bumi. Hari Raya Idul Adha datang membawa pesan suci dari langit tentang cinta, pengorbanan, dan keikhlasan. Di balik dentingan pisau yang menyentuh hewan qurban, tersimpan pelajaran agung tentang hakikat taqwa. Sebab qurban bukan semata menyembelih hewan, melainkan mengukir ketundukan jiwa kepada Sang Pencipta.
Qurban: Kisah Cinta yang Abadi
Mari kita kembali ke ribuan tahun lalu, saat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diuji dengan perintah yang nyaris mustahil menyembelih putra tercinta, Ismail. Betapa hatinya pasti berkecamuk, namun karena ketaatan pada Allah yang tiada ragu, ia tunduk sepenuh hati. Dan Ismail pun tidak menolak, justru berkata, “Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (QS. As-Saffat: 102).
Di sinilah makna qurban lahir. Ia bukan soal darah atau daging, tetapi ketaatan mutlak dan cinta kepada Tuhan yang melampaui rasa memiliki. Allah pun menggantikan Ismail dengan seekor kambing, dan sejak saat itu, ibadah qurban menjadi warisan suci yang kita teruskan hingga hari ini.
Taqwa: Tujuan Hakiki Qurban
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini seakan menampar kesadaran kita. Qurban bukanlah ritual seremonial tanpa ruh. Ia adalah ujian jiwa: apakah kita benar-benar tunduk pada perintah-Nya? Apakah kita mampu melepaskan ego, rasa memiliki, bahkan keterikatan dunia, demi mendekat kepada-Nya?
Menyembelih hewan hanyalah simbol. Yang sesungguhnya harus kita sembelih adalah sifat kikir, sombong, dan cinta dunia yang berlebihan. Maka setiap tetes darah yang mengalir adalah saksi, bahwa kita sedang mengukir taqwa di atas hati yang bersih.
Menghidupkan Jiwa Sosial Lewat Qurban
Qurban juga mengajarkan empati. Dagingnya bukan untuk disimpan, tetapi dibagikan. Ia mempertemukan kita dengan mereka yang lapar, yang jarang menikmati lauk bergizi. Di sanalah letak keindahan Islam menghubungkan ibadah vertikal dengan kepedulian horizontal.
Ketika kita menyisihkan sebagian rezeki untuk membeli hewan qurban, kita sedang berkata pada dunia: “Aku tak hanya hidup untuk diriku sendiri.” Qurban mengajarkan bahwa keberkahan sejati lahir dari memberi, bukan menumpuk.
Agar Qurban Tak Sekadar Tradisi
Sudah saatnya kita renungkan kembali, adakah qurban kita hanya rutinitas tahunan? Apakah kita sudah menjadikan momen ini sebagai jalan mendekat kepada Allah dan menyucikan jiwa? Atau justru kita hanya terjebak pada formalitas, mencari yang termurah tanpa memikirkan kualitas ibadah?
Qurban yang sejati adalah qurban yang membekas. Ia tidak berhenti di pisau yang meneteskan darah, tetapi melanjut dalam akhlak, dalam kedermawanan, dalam kesediaan berkorban untuk sesama sepanjang tahun.
Penutup: Taqwa Itu Ditempa, Bukan Diberi
Qurban adalah kesempatan tahunan yang Allah berikan, agar kita belajar melepaskan, mengikhlaskan, dan mendekat. Sebab taqwa tak datang dengan sendirinya. Ia ditempa lewat ujian, pengorbanan, dan keputusan sulit yang kita ambil demi ketaatan.
Jadi saat kita berdiri di samping hewan qurban tahun ini, tanyakan pada hati: “Sudahkah aku menyembelih egoku? Sudahkah aku menjadi lebih taat, lebih ikhlas, dan lebih peduli?”
Karena qurban yang diterima bukan yang paling mahal, tapi yang paling tulus.
0 Komentar